Jangan Pertanyakan Darimana Kuperoleh Aqidahku!  

Salah satu hal yang kami diskusikan kemarin adalah soal berikut:
1. Kita tidak pernah tanya kepada orang tua kita apa dasarnya kita harus ikuti keimanan yg mereka imani. Kita tidak pernah mempertanyakan apa dasarnya karena memang dasarnya datang dari fitrahnya kita sebagai umat yang beragama dan berakidah
2. Apa harus ada dasarnya untuk mempertahankan aqidah kita?

Dua point diatas sangat ingin saya ulas diblog ini karena pembahasannya menarik. Ok, saya mulai bahas poin no. 1 ya.

1. Kita tidak pernah tanya kepada orang tua kita apa dasarnya kita harus ikuti keimanan yg mereka imani.

Kalau dulu saya kecil seusia Hafizh, saya lupa apa saya pernah bertanya ke orang tua saya, “Mengapa saya harus menyembah Allah? Allah itu apa? Allah dimana? Allah itu bentuknya kayak kita kah?”. Tapi anak jaman sekarang seusia Hafizh mereka sudah tanya itu. Dan pertanyaan-pertanyaan tersebut sudah lumrah ditanyakan oleh anak-anak jaman sekarang. Saya kurang tahu, apa orang jaman dulu kecilnya tidak mempertanyakan hal ini? Atau jika bertanya hal ini menjadi tabu dan dilarang oleh orang tuanya? Parenting Islami jaman sekarang justru banyak membahas bagaimana cara orang tua menjawab pertanyaan kritis anak-anaknya soal ini.

Misal:
1. Jika anak bertanya, Allah dimana? Kok ga kelihatan.
Jangan dijawab Allah dimana-mana, karena ditakutkan anak-anak akan berpersepsi Allah berarti banyak dong, karena dimana-mana, lebih dari satu dong. Maka jawablah, Allah itu dekat dengan kita. Maka Allah akan melihat segala perbuatan baik-buruk kita dan dicatat oleh Allah.
Dll.

Manusia itu mau dia Islam, Atheis, Kristen, dia memang mempunyai sebuah Gharizah (Naluri) Tadayyun, naluri beragama, naluri ingin mensucikan atau meninggikan Dzat yang lebih tinggi darinya. Betul jika dikatakan kita ini punya fitrah berakidah, beragama, mengimani sesuatu. Tapi bukan lantas tidak boleh dipertanyakan keyakinan tersebut dari mana diperoleh? Sangat boleh. Bukan hal yang tidak etis. Ini juga sebagai uji kekritisan dan kesungguhan orang dalam beragama ketika ditanya, “Kenapa sih kamu pilih Islam?”. Masak iya dijawab ya karena keluarga saya Islam, jangan tanya lagi. Kan enggak begitu.

Itulah sebabnya beriman itu bukan hanya disandarkan pada perasaan “punya naluri beragama” tapi juga disandarkan dengan akal dan dalil. Aqli dan naqli. Sehingga jalan menuju iman itu lurus dan benar. Jika hanya disandarkan kepada perasaan “naluri mengimani sesuatu”, kita bisa lihat orang seperti dukun atau penyembah berhala. Mereka tetap punya naluri mengimani, yakin bahwa yang disembah itu yang lebih tinggi darinya dan yang memberi apa keinginannya. Tapi apa keimanan tersebut haq? Tentu bathil, karena tidak disandarkan kepada dalil naqli dimana Al Qur’an dan Hadist menjelaskan mengenai Iman pada Allah, dst. Kemudian akan memprosesnya dengan mengindera fakta di lapangan. Panca indera kita melihat bahwa alam semesta dan kehidupan ini tidak mungkin ada dengan sendirinya. Pasti ada yang menciptakan dan mengatur, yaitu Allah, ada dalam Al Qur’an dan Hadist.

Al Qur’an:
“Wahai orang yang beriman; berimanlah kamu kepada Allah, Rasul-Nya (Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam ), kitab yang diturunkan kepada Rasul-Nya dan kitab yang telah diturunkan sebelumnya. Barangsiapa kafir (tidak beriman) kepada Allah, malaikat-Nya. kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya dan Hari Akhirat, maka sesungguhnya orang itu sangat jauh tersesat.” (QS. An Nisaa’ (4): 136)
“Dan Tuhan itu, Tuhan Yang Maha Esa. Tidak ada Tuhan selain Dia. Yang Maha Pemurah dan Maha Penyayang.” (QS. Al Baqarah (2): 163)
“Allah itu tunggal, tidak ada Tuhan selain Dia, yang hidup tidak berkehendak kepada selain-Nya, tidak mengantuk dan tidak tidur. Kepunyaan-Nya lah segala sesuatu yang ada di langit dan di bumi. Bukankah tidak ada orang yang memberikan syafaat di hadapan-Nya jika tidak dengan seizin-Nya? Ia mengetahui apa yang di hadapan manusia dan apa yang di belakang mereka, sedang mereka tidak mengetahui sedikit jua pun tentang ilmu-Nya, kecuali apa yang dikehendaki-Nya. Pengetahuannya meliputi langit dan bumi. Memelihara kedua makhluk itu tidak berat bagi-Nya. Dialah Yang Maha Tinggi lagi Maha Besar.” (QS. Al Baqarah (2): 255)
“Dialah Allah, Tuhan Yang Tunggal, yang tiada Tuhan selain Dia, yang mengetahui perkara yang tersembunyi (gaib) dan yang terang Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Dialah Allah, tidak tidak ada Tuhan selain Dia, Raja Yang Maha Suci, yang sejahtera yang memelihara, yang Maha Kuasa. Yang Maha Mulia, Yang Jabbar,lagi yang Maha besar, maha Suci Allah dari segala sesuatu yang mereka perserikatkan dengannya. Dialah Allah yang menjadikan, yang menciptakan, yang memberi rupa, yang mempunyai nama-nama yang indah dan baik. Semua isi langit mengaku kesucian-Nya. Dialah Allah Yang Maha keras tuntutan-Nya, lagi Maha Bijaksana.” (QS. Al Hasyr (59): 22-24)
“Katakanlah olehmu (hai Muhammad): Allah itu Maha Esa. Dialah tempat bergantung segala makhluk dan tempat memohon segala hajat. Dialah Allah, yang tiada beranak dan tidak diperanakkan dan tidak seorang pun atau sesuatu yang sebanding dengan Dia.” (QS. Al Ikhlash (112): 1-4)
“Sesungguhnya Aku ini Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku.” (QS. Thaha (20): 14)
“Sesungguhnya (agama tauhid) ini adalah agama kalian semua, agama yang satu dan Aku Tuhan kalian, maka bartakwalah kepada-Ku.” (QS. Al Mukminun (23): 52)
“Sesungguhnya (agama tauhid) ini adalah agama kalian semua agama yang satu dan Aku Tuhan kalian, maka sembahlah Aku.” (QS. Al Anbiya (21): 92)
“Sekiranya ada di langit dan di bumi Tuhan-Tuhan selain Allah, tentulah keduanya telah rusak, binasa. Maka Mahasuci Allah yang mempunyai Arasy daripada apa yang mereka sifatkan.” (QS. Al Anbiya’ (21): 22)
“Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari Kemudian, Malaikat, Kitab-Kitab, Nabi-Nabi…” (QS. Al Baqarah (59): 177)

Hadist:
Sabda RasululIah Shallallahu ‘alaihi wasallam:
Diriwayatkan oleh Imam Muslim dari hadits ‘Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu ‘anhu yang menyatakan bahwa Malaikat Jibril pernah bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang Iman, maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab:
“Iman itu adalah engkau beriman kepada Allah, Malaikat-MalaikatNya, Kitab-Kitab-Nya, Rasul-Rasul-Nya, dan Hari Akhir, serta beriman kepada qadar yang baik maupun buruk.”
“Katakanlah olehmu (wahai Sufyan, jika kamu benar-benar hendak memeluk Islam): ‘Saya telah beriman akan Allah’, kemudian berlaku luruslah kamu.”.
“Manusia yang paling bahagia memperoleh syafaat-Ku di hari kiamat, ialah: orang yang mengucapkan kalimat La ilaha illallah.” (HR. Muslim).
“Barangsiapa mati tidak memperserikatkan Allah dengan sesuatu, pasti masuk surga. Dan barangsiapa mati tengah memperserikatkan Allah dengan sesuatu, pasti masuk neraka.” (HR. Muslim)

Jadi naluri itu tidak bisa berdiri sendiri tanpa kita kelola dengan benar. Dimulai dari membangkitkan pola pikir kita. Antara naqli dan aqli saling melengkapi.

Justru bahaya sekali jika kita beriman pada Allah karena keturunan, atau memang mengimani apa yang diimani nenek moyang kita tanpa adanya proses berpikir yang benar dan dilandaskan dengan nash syar’i. Bangkitnya manusia itu dimulai dari dia menemukan aqidahnya, jalan menemukan itu juga harus jalan yang lurus dan benar. Maka jika awalnya ada diantara kita yang beriman pada Allah dari hasil turunan, maka mulailah berpikir keimanan tersebut dari proses kita berpikir sendiri, dan itu akan menancap kuat dan mengakar bagaikan pokok kurma.

2. Apa harus ada dasarnya untuk mempertahankan aqidah kita?

Kita makan aja pasti ada alasannya. Alasannya apa? Ya tentu aja karena lapar. Sebuah fitrah memenuhi kebutuhan jasmani yang kalau tidak dipenuhi maka akan mati. Jadi bukan dijawab “Ya aku mau makan karena emang aku mau, dan aku yakin aku mau makan”. Kalau benar ada yang jawab begitu, mungkin saja dia lagi bercanda. Ok, maklum kalau bercanda. Nah kalau serius jawab gitu, maka asli, anda akan terlihat konyol karena membawa otak kemana-mana tapi tidak dipakai. (Salah satu keputusan benar yang saya ambil kemarin, adalah untuk menghindari saya bilang kalimat sarkasme, bahaya..bahaya..Kalau nulis disini kan tidak tertuju pada seseorang tapi tulisan umum).

Sebagaimana kita memperoleh keimanan melalui bangkitnya pola pikir kita dan disandarkan pada nash syar’i, maka mempertahankan aqidah juga pasti ada alasannya, alasannya sesuai dengan bagaimana kita memperoleh keimanan tersebut. Jika kita peroleh dengan jalan keimanan yang lurus dan benar, maka mempertahankan aqidah kita pun akan kuat.

Akhir kata, saya mau beristighfar, semoga tulisan ini dijauhkan dari kesan merendahkan atau menyudutkan orang lain.

Jika ada yang salah dan kurang, semata-mata dari saya. Jika ada baiknya, itu semua karena Allah.

Tinggalkan komentar