Move

Banyak hal yang tak sampai tertuang dalam blog ini, dari 2014 sampai saat ini aku mulai menulis lagi. Tampilan blog juga sudah diperbarui lagi. Banyak tulisan yang ada dalam blog ini pun terpaksa aku hapus. Ya..semua karena berbagai pertimbangan. Mempertimbangkan untuk perbaikan isi blog. Mencoba mendewasakan konten yang ada. Sehingga tulisan yang dirasa terlalu berlebihan menggunakan perasaan, kini sudah mulai dihilangkan. Dan mulai menuangkan apa yang selama ini didapatkan dari belajar di kampus, maupun diluar kampus.

Alhamdulillah, saat tulisan ini aku buat, aku pun sudah berpindah lagi dari satu tempat ke tempat lain. Mulanya kontrak rumah di Batu, karena masih kuliah di Malang. Kemudian punya anak, sambil mengerjakan skripsi, mengambil data di Jombang. Balik lagi ke Batu karena proses ambil data sudah selesai. Suami putuskan pindah ke Pare, Kediri untuk belajar di Kampung Inggris. Disana tidak hanya Bahasa Inggris yang dipelajari, tapi juga Bahasa Arab. Setelah itu ke Jombang dan 11 Januari 2016 kami pun terbang untuk hijrah ke Pekanbaru-Riau tempat asal suami.

Bismillah yaa Allah..banyak yang menyayangkan mengapa kami pindah ke Pekanbaru. Terutama Bapak dan Ibu di Jombang yang sangat sayang sama Hafizh dan Hafizhah, putra-putri kembar kami. Begitu juga dengan Mbah Uyut, Pak Igit, dan semuanya sampai bahkan tetangga-tetangga. Malam sebelum keberangkatan kami adakan makan bersama keluarga besar. Suasana ramai, senang, namun dominan timbul rasa haru sedih atas kepergian kami esok hari. Dalam sesi pembukaan, suami memberikan kesempatan pada keluarga untuk menyampaikan uneg-uneg, nasehat, masukan, saran, apapun itu untuk perbaikan kami.

Hal yang sepertinya baru pertama kali ini ada dalam keluarga besarku, kalo kata kakak ipar dari suami, asli Medan, dia bilang itu namanya Makoba atau Makan Besar. Dimana setiap keluarga harus menyampaikan isi hatinya pada awal pembukaan. Ehm, saya kurang paham riwayat adat tersebut bakunya seperti apa. Jadi monggo dicek saja ke sumber yang shohih.

Selama perjalanan hidupku, baru pada saat menikah saja, aku menjalani pergerakan yang berpindah dari tempat satu ke tempat lain. Aku mulai merasakan, bagaimana bertemu dengan karakter orang si A ,si B ,Si c, dll. Bagaimana menghadapi orang yang berbeda-beda karakter. Aku mulai banyak berpikir dan terdiam, menata sikap dimana aku berada. Tak banyak orang tahu apa yang aku rasakan selain diriku sendiri dan ALLAH

 

#tulisansetahunlalu

#latepost

Ramadhan Lima Tahun Terakhir Ini

Ramadhanku, semenjak aku menikah Ramadhan yang aku nikmati terasa lebih berbeda. Tentu, sebab aku tak lagi sendiri. Lima tahun yang lalu, Ramadhanku sudah diwarnai teman hidupku, ialah suamiku. Ramadhanku lebih semarak ketika setahun kemudian, aku dikaruniai dua orang bayi kembar sekaligus. Hari-hari selama Ramadhan aku lalui dengan kelengkapan keluarga, ada bapak, ibu, suami dan anak-anak. Semua lebih manis terasa, dibandingkan sirup yang ada diiklan-iklan TV sepanjang bulan Ramadhan tiba.

Semenjak punya anak, diakhir Ramadhan kami selalu mudik ke kampung halaman suamiku, yaitu Pekanbaru. Disana budaya melayu sangatlah kental. Sanak family dari suamiku pun lebih banyak dari sanak familyku di Jawa. Di Pekanbaru aku, suami dan anak-anak menghabiskan malam-malam Ramadhan terakhir sampai tiba waktunya Ied Fitri tiba. Suasana meriah, makanan berlimpah, amplop-amplop angpao betebaran sana-sini.

Dan, tak lupa sebelum padatnya aktifitas bersalam-salaman, aku selalu hubungi orangtuaku dulu yang berada di Jawa. Karena perbedaan waktu sholat yang hampir setengah jam lebih, maka ketika disini masih sholat, disana sudah selesai sholat Ied. Aku melalui sambungan telepon, berupaya memohon ampun dan maaf atas segala salah dan khilafku selama ini pada kedua orangtuaku dan keluarga. Sedih, haru, karena setahun setelah menikah aku hamil, Ramadhan itu aku di Jawa. Setelah tahun kedua menikah, anakku sudah bisa dibawa naik pesawat, sejak saat itu aku nyaris tak merasakan Ramadhan malam-malam terakhir bersama orangtuaku. Malam takbiran, kemudian sholat Ied, sedih sekali.

Januari 2016 aku pindah ke Pekanbaru, menetap disini. Ramadhan 2016, sedianya aku pulang, urung lagi. Tak jadi pula aku lebaran di kampung halamanku yang sejatinya tahun itu adalah tahunku lebaran dengan orangtuaku. Lebaran 2017 ini, duh. Sepertinya nyaris tak ada harapan untuk lebaran disana. Karena bulan Maret ini aku baru saja melahirkan baby perempuan, yang jika dihitung-hitung, Ramadhan sampai lebaran, usianya masih sekitar 3 bulanan. Masih takut untuk membawanya naik pesawat, ditambah bawa 2 anak kembar. Sedih lagi dan lagi. Ibuku, Bapakku, tentu lebih sedih lagi, karena anak beliau Cuma 2, aku dan kakakku. Cucunya tiga, ketiganya masih dariku, karena kakakku tahun ini baru hamil. Tentu sepi, tentu rindu canda tawa dengan cucu. Bagaimana aku bisa mengobati kerinduan ini? Juga kerinduan kedua orangtuaku?

Do’a, iya do’a. Ajaibnya do’a kita bisa mengubah apa yang tidak mungkin menjadi mungkin. Dan aku berdo’a agar di tahun ini aku bisa lebaran di kampung halamanku. Membawa banyak oleh-oleh, untuk dibagi-bagikan, memasak makanan yang banyak untuk makan-makan bersama keluarga besar, menyiapkan amplop-amplop kecil untuk orang-orang terkasih. Semoga semua ini dapat terkabul. Aamiin, InsyaAllah.